Sejarah Cilacap yang terpendam dalam makam
Selasa, 21 Februari 2017 04:00
Reporter : Abdul Aziz
Pemakaman Kerkhof Tjilatjap. ©2017 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid
Merdeka.com - Angka-angka tahun yang tertera di
dinding Benteng Pendem Kabupaten Cilacap, melontarkan Karsiyah pada rasa
penasaran tentang sejarah Cilacap di masa kolonial. Tak pernah ia
sangka, informasi yang ia gali lewat sejumlah buku, justru
mengantarkannya ke pemakaman Kerkhof Tjilatjap.Di pemakaman itu, di Jalan Karang sebelah selatan kelurahan Cilacap, kurang lebih terdapat 109 makam yang tak bisa dikatakan terawat betul. JWF Scott, si pengawas pembangunan Benteng Pendem adalah salah satu serdadu Belanda yang terbaring di dalamnya sejak 24 Juni 1870. Karena satu makam itu, rasa ingin tahu Karsiyah makin menjadi, ia ingin mendalami identitas masing-masing warga Belanda yang dimakamkan di areal pemakaman tersebut.
"Saya merasa dengan mengetahui dan meneliti lebih jauh, saya bisa melengkapi serpihan sejarah yang hilang di Cilacap. Menurut saya, epitaph (tulisan pada nisan) merupakan jejak eksistensi seseorang, yang bisa menggambarkan bagaimana situasi Cilacap di masa kolonial," ujar Karsiyah yang merupakan lulusan Fakultas Peternakan Unsoed ini.
Pengusul revitalisasi Kerkhof Cilacap itu lalu membangun jaringan dengan beberapa orang Belanda untuk mengetahui latar belakang identitas yang tertera di tiap epitaph. Pada tahun 2004-2014, informasi ia kumpulkan dari berbagai pihak dan kerabat yang berkaitan dengan keturunan komunitas Eropa yang dimakamkan di Kerkhof Cilacap. Dari informasi yang ia himpun, salah satunya ia lantas mengetahui wabah malaria pernah menjadi momok di Cilacap sampai-sampai seorang dokter bedah asal Denmark, Oscar Kuhr, meninggal di tahun 1886.
"Pemakaman ini mendokumentasikan sejarah panjang Kabupaten Cilacap. Salah satunya terkait kisah ganasnya malaria terbesar di Jawa Tengah yang menewaskan puluhan orang-orang asing di masa silam. Sedang terkait prasasti nisan yang masih ada, tertera makam tertua atas nama Therese Von Lutzow tahun 1852 dan terakhir Egbert De Jong tahun 1952," ujarnya hafal di luar kepala.
Karsiyah pada merdeka.com, menunjukkan makam-makam yang telah ditelitinya hampir 15 tahun. Ia menenteng map merah berisi kliping-kliping koran dari Belanda, identitas dan denah pemakaman. Ia bercerita, sangat bersyukur ketika ada upaya menjadikan kerkhof dan bangunan-bangunan tua di Cilacap lainnya sebagai cagar budaya.
"Saya kira, baik kerkhof atau bangunan peningalan kolonial lainnya tak hanya berkaitan dengan nilai sejarah. Tapi juga bisa menjadi media diplomasi antar negara. Hal ini juga penting bagi kita untuk melawan lupa. karena tanpa pelestarian maka sama saja kita membiarkan beberapa rangkaian sejarah hilang," ujarnya.
Kesabaran Karsiyah mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah Cilacap itulah yang kini diupayakan oleh keikutsertaan Pemerintah Kabupaten Cilacap. Dari informasi-informasi yang dihimpun Karsiyah, Pemkab Cilacap mulai bergerak untuk melakukan revitalisasi kawasan Pemakaman Kerkhof Tjilatjap. Rencananya kawasan ini akan dipugar, diperindah dengan dilengkapi diorama sejarah kolonial di Cilacap. Tujuan besarnya agar dapat menjadi salah satu magnet pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama pengembangan kota.
Tindakan Karsiyah menunjukkan bahwa posisi sejarah sejatinya begitu penting, meski sering disepelekan dalam zaman yang lebih mengutamakan pembangunan-pembangunan lahan ekonomi. Kerja Karsiyah mengingatkan kita, bahwa yang lampau tetaplah bagian penting dari proses yang berlangsung sampai waktu kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar